Wednesday 4 September 2013

KONFLIK AGRARIA DI SEKTOR KEHUTANAN DI KABUPATEN LEBAK


KONFLIK AGRARIA DI SEKTOR KEHUTANAN
DI KABUPATEN LEBAK
Oleh : Bayu Hadiyana Trenggono.,S.IP.,M.Si

1.1  Kondisi Umum Kabupaten Lebak
Kabupaten Lebak terletak antara 6º18'-7º00' Lintang Selatan dan 105º25'-106º30' Bujur Timur, dengan luas wilayah 304.472 Ha (3.044,72 Km²) yang terdiri dari 28 Kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Kabupaten Lebak memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut :
Sebelah Utara             : Kabupaten Serang dan Tangerang
Sebelah Selatan         : Samudera Indonesia
Sebelah Barat             : Kabupaten Pandeglang
Sebelah Timur                        : Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi
Lahan dan Kawasan beserta luas dan sebarannya yang berada di Kabupaten Lebak meliputi :
1.    Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, pengembangan kawasan dikaitkan dengan fungsi hidrologis, mencakup lahan seluas 63.845 ha (22,32 % dari luas total Kabupaten Lebak), terdiri dari :
·      Kawasan hutan lindung (luas 29.975 ha), Kawasan hutan lindung tersebar di Kecamatan Cipanas, Kecamatan Muncang, Kecamatan Sobang, Kecamatan Cijaku, Kecamatan Panggarangan, Kecamatan Cibeber, dan Kecamatan Bayah.
·      Kawasan resapan air (luas 33.870 ha), Sebaran kawasan resapan air terdapat di Kecamatan Cipanas, Kecamatan Muncang, Kecamatan Sobang, Kecamatan Bojongmanik, Kecamatan Gunungkencana, Kecamatan Cijaku, Kecamatan Panggarangan, Kecamatan Cilograng, Kecamatan Cibeber, dan Kecamatan Bayah.
2. Kawasan perlindungan setempat, kawasan lindung yang merupakan kawasan perlindungan setempat di Kabupaten Lebak seluas 10.595 Ha (3,7% dari luas total Kabupaten Lebak), terdiri dari :
·      Sempadan pantai, Sebaran sempadan pantai terdapat di Kecamatan Wanasalam, Malingping, Panggarangan, Cihara, Cibeber dan Kecamatan Bayah dengan panjang garis pantai sekitar 91,42 Km.
·      Sempadan sungai, Perlindungan terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
·      Kawasan sekitar mata air, Perlindungan terhadap kawasan sekitar mata air dilakukan untuk melindungi mata air dari kegiatan budidaya yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitamya, sedangkan kriteria kawasan lindung untuk kawasan mata air adalah sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air.
3.     Kawasan suaka alam dan cagar budaya, terdiri dari :
·      Taman nasional (luas cakupan sebesar 16.380 ha),Taman nasional yang terdapat di Kabupaten Lebak adalah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, yang berada di wilayah Kecamatan Cipanas, Lebakgedong, Sobang, Muncang dan Cibeber dengan luas 16.380 ha (5,71 % dari luas total Kabupaten Lebak).
·      Kawasan cagar budaya, adalah cagar budaya Masyarakat Baduy dengan luas sebesar 5.102 ha atau 1,79% dari luas total Kabupaten Lebak. Perlindungan terhadap kawasan cagar budaya dilakukan untuk melindungi kekayaan budaya bangsa berupa peninggalan-peninggalan sejarah dari ancaman kepunahan yang disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia.
·      Kawasan Ilmu Pengetahuan, Kawasan yang diperuntukan untuk kawasan Ilmu pengetahuan terdapat di sekitar wilayah pertambangan bersyarat. Sesuai dengan lokasinya diharapkan kawasan ilmu pengetahuan yang akan dikembangkan adalah Ilmu Pengetahuan berbasis pertambangan.
4.  Kawasan rawan bencana alam, Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia.
·   Kawasan Rawan Bencana Gerakan Tanah. Berdasarkan zonasi kerentanan gerakan tanah, maka kawasan rawan bencana alam di Kabupaten Lebak diidentifikasi seluas 1.300 ha (0,95 % dari luas total Kabupaten Lebak). Adapun sebaran kawasan rawan bencana alam terdapat di Kecamatan Cipanas, Kecamatan Bayah, Kecamatan Bojongmanik, dan Kecamatan Leuwidamar. Pada kawasan dengan kerentanan gerakan tanah menengah dan tinggi, sebagaimana yang banyak terdapat di Kabupaten Lebak masih dimungkinkan adanya kantung-kantung daerah layak huni akan tetapi alangkah lebih baik bila kawasan seperti ini mendapat penelitian geologi teknik yang lebih rinci apabila akan dimanfaatkan.
·   Kawasan Rawan Banjir. Kawasan rawan bencana banjir sedapat mungkin tidak dipergunakan untuk permukiman, demikian pula kegiatan lain yang dapat merusak atau mempengaruhi kelancaran sistem drainase. Berdasarkan fakta di lapangan menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Kabupaten Lebak rawan terhadap bencana banjir, terutama di wilayah-wilayah sekitar bantaran sungai dan wilayah pantai.

Luas kawasan Lindung atau kawasan yang mempunyai fungsi lindung di Kabupaten Lebak mencapai 31,93%. Luasan tersebut sangat proporsional untuk suatu wilayah dalam menjaga daya dukung lingkungan. Kondisi tersebut sesuai juga dengan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dimana suatu wilayah diharapkan mempunyai persentase luasan kawasan lindung sebesar 30%.

1.2  Latar Belakang Masalah
Kabupaten Lebak adalah salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Banten yang terletak di bagian selatan yang sebagian besar merupakan dataran rendah dengan potensi sumber daya alam terutama bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan yang tinggi. Pada daerah agraris seperti Kabupaten Lebak tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk daerah bersangkutan. Walapun tanah di daerah agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai lahan. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber permasalahan. 
Sebagai sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber produksi yang sangat dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang membutuhkannya. Perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya semakin tidak sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah. Karena itulah, tanah dan segala sumber daya alam yang terkandung di dalamnya selalu menjadi ”ajang perebutan” berbagai kepentingan yang senantiasa menyertai kehidupan manusia. Tidak heran jika sejak zaman dahulu tanah selalu menjadi obyek yang diperebutkan sehingga memunculkan adanya sengketa dan konflik yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya yang dikandungnya. Disamping itu Adanya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta ketimpangan terhadap sumber-sumber produksi lainnya menyebabkan terjadinya konflik pertanahan. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu.

1.3  Permasalahan dan Mekanisme Penyelesaian Masalah
Konflik pertanahan merupakan persoalan yang kronis dan bersifat klasik serta berlangsung dalam kurun waktu tahunan bahkan puluhan tahun dan selalu ada dimana-mana. Sengketa dan konflik pertanahan adalah bentuk permasalahan yang sifatnya kompleks dan multi dimensi. Oleh karena itu usaha pencegahan, penanganan dan penyelesaiannya harus memperhitungkan berbagai aspek baik hukum maupun non hukum. Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada dilema-dilema antara berbagai kepentingan yang sama-sama penting. Mencari keseimbangan atau win-win solution atas konflik yang sudah terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar konflik, factor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya. Dengan usaha-usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa dan konflik pertanahan dapat ditekan semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan keadilan agraria yang mensejahterakan.
Akar permasalahn dalam sengketa pertanahan antara lain : klaim penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (P4T), putusan pengadilan, pengadaan tanah baik oleh pemerintah maun pihak swasta dan konflik yang di akibatkan oleh tumpang tindih perizinan. Adapun macam sengketa di Kabupaten Lebak yang sering terjadi di sektor kehutanan, sebagai berikut :
1.    Sengketa tanah ulayat/adat ;
2.    Sengketa tanahgarapan ;
3.    Okupasi/penyerobotan oleh masyarakat ;
4.    Penyerobotan oleh perusahaan lain ;
5.    Tuntutan masyarakat atas status tanah yang sedang mengurus perpanjangan HGU ;
6.    Tuntutan ganti rugi ;
7.    Pengambilan tanah masyarakat tanpa kesepakatan ;
8.    Tanah yang diperjual-belikan ;
9.    Masyarakat menuntut pengembalian tanah ;
10. Masyarakat keberatan atas pemberian/perpanjangan HGU;
11. Masyarakat ingin memiliki lahan;
12. Menolak keberadaan kebun sawit ;
13. Pengrusakan lahan tanaman;
14. Penjarahan produksi ;
15. Pengrusakan lahan tanaman pangan ;
16. Tumpang tindih alokasi lahan dengan tanaman pangan ;

Kasus-kasus yang sering terjadi di kabupaten lebak, antara lain :
1.    Konflik warga dengan taman nasional gunung halimun salak (TNGHS);
2.    Konflik antara warga dengan tim pengadaan tanah untuk kepentingan umum kabupaten lebak dengan warga yang menolak ;
3.    Konflik antara warga dengan tim pengadaan tanah untuk kepentingan umum kabupaten lebak dengan warga menolak besaran pembayaran ganti rugi ;
4.    Konflik antara penggarap dengan pemegang hak eks HGU ;
5.    Konflik antara penggarap dengan perhutani terkait tegakan yang dimiliki oleh penggarap ;
6.    Konflik antara warga masyarakat dengan pihak perusahaan swasta dalam rangka pengadaan tanah ;
7.    Konflik klaim kepemilikan antara warga dengan pihak pemerintah daerah ;
8.    Konflik antara penggarap dengan perusahaan perkebunan milik BUMN  ;
9.    Konflik antara tanah adat baduy dengan warga sekitar, TNGHS maupun perusahaan (HGU) yang berbatasan langsung dengan tanah  adat ;
10. Konflik antara HGU terlantar dengan penggarap.

Contoh kasus yang sering terjadi di kabupaten lebak, antara lain : Konflik antara masyarakat di kecamatan sobang, lebakgedong, cibeber, cipanas, muncang, leuwidamar, sajira, cijaku, dan panggarangan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dimana pemukiman, fasilitas umum dan fasilitas pendidikan masuk kedalam pengelolaan TNGHS, di tambah lagi dengan rencana perluasan wilayah yang akan di kelola oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang berakibat semakin banyak fasilitas umum, pendidikan, keagamaan, dan rumah warga yang masuk ke wilayah tersebut. Penyelesaian masalah dalam kasus ini Pemerintah Daeran memfasilitasi perwakilan warga di kecamatan yang terkena perluasan wilayah yang di kelola TNGHS untuk menghadap Kementrian Kehutanan agar meninjau ulang perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak serta didukung oleh Surat Keputusan Bupati agar meninjau ulang perluasan lahan yang akan dikelola oleh TNGHS.
Konflik antara warga dengan tim pengadaan tanah untuk kepentingan umum Kabupaten Lebak terkait dengan pembangunan waduk karian, warga menolak  pembangunan tersebut serta warga menolak besaran pembayaran ganti rugi. Pada pelaksanaannya terjadi suatu insiden pada hari Kamis Tanggal 7 Oktober 2010 pada pukul : 15.00 Wib, dimana terjadi amuk warga yang mengakibatkan kerusakan satu buah mobil dan dua motor polisi. Kejadian tersebut juga mengakibatkan seorang polisi menjadi korban pemukulan warga, kemarahan warga di sebabkan adanya provokator menolak pembangunan waduk karian, meminta lahan pengganti yang harus di sediakan oleh pemerintah, sosialisasi yang tidak tepat sasaran dan mis komunikasi antara pihak BPN, Kepala Desa, Warga, dan Panitia Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Di Kabupaten Lebak. Penyelesaian maslah pada kasus ini Pemerintah Daerah beserta Tim Panitia Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Di Kabupaten Lebak melaksanakan sosialisasi kembali, serta melaksanakan sosialisasi yang tepat sasaran agar tidak terjadi mis komunikasi kembali. Sedangkan untuk pengadaan tanah yang dilaksanakan oleh pihak swasta, Pemerintah daerah akan menindak tegas apabila perusahaan belum memiliki perizinan terkait dengan pengadaan tanah tersebut.
Konflik yang sering terjadi adalah antara penggarap dengan pemegang hak HGU dimana penggarap biasanya mempermasalahkan perizinan HGU tersebut. HGU yang akan habis perizinannya, serta SK HGU yang tidak diperpanjang mengakibatkan terjadi perselisihan antara penggarap dengan pemegang eks HGU. konflik berikutnya adalah pemilik HGU yang masih aktif dengan penggarap, penyelesaian masalah dalam hal ini Pemerintah Daerah atas bantuan Kantor Pertanahan Kabupaten Lebak mengklarifikasi Peraturan terkait dengan terbitnya SK HGU perusahaan bersangkutan. Setelah memfasilitasi mediasi antara penggarap dangan pemilik HGU, setelah proses mediasi barulah mengeluarkan surat rekomendasi atas persetujuan pihak-pihak terkait. Permasalahan berikutnya yang sering terjadi adalah antara penggarap dengan pihak Perhutani maupun Perusahaan perkebunan BUMN (PTPN). Dalam proses penyelesaian masalah Pemerintah Daerah melalui Tim Penyelesaian Masalah Pertanahan di Kabupaten Lebak merekomendasikan setelah diskusi serta mediasi antar kedua belah pihak, tanpa merugikan pihak manapun.
Konflik berikutnya yang sering terjadi adalah ketika masyarakat mengklaim tanah atau bangunan milik Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Daerah melalui Tim Penyelesaian Masalah Pertanahan di Kabupaten Lebak menghimpun data otentik serta berpedoman pada peraturan perundang-undangan dalam pengambilan kebijakan. Pada prosesnya apabila masyarakat tetap mengklaim sedangkan data otentik di Kantor Pertanahan kabupaten Lebak bahwa tanah yang di klaim milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah mempersilahkan masyarakat untuk menggugat melalui Pengadilan. Pemerintah Daerah akan tunduk kepada keputusan pengadilan dalam pengambilan kebijakan.
 Permasalahan batas wilayah tanah adat baduy dan sekitarnya sering kali bermasalah di karenakan terjadi klaim masyarakat maupun perusahaan BUMN/Swasta, dalam hal ini Tim Penyelesaian Masalah Pertanahan di Kabupaten Lebak berpedoman pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy dan Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes.
Pengambilan kebijakan yang di rekomendasikan oleh Tim Penyelesaian Masalah Pertanahan di Kabupaten Lebak berpedoman pada peraturan perundang-undangan serta kearifan lokal, mediasi dengan pihak yang saling mengklaim, dan musyawarah mufakat kedua belah pihak. Untuk menghindari pelanggaran ham yang dilakukan oleh tim, pengambilan kebijakan selalu dan tidak akan pernah menggunakan tindakan kekerasan dalam merumuskannya. Pola pelanggaran HAM yang sering terjadi, antara lain :
1.    Pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam ;
2.    Pelanggaran hak memiliki atau menguasasi kekayaan ;
3.    Pelanggaran hak atas kebebasan ;
4.    Pelanggaran terhadap integritas pribadi.
 Pelanggaran Ham sering terjadi dikarenakan mis komunikasi antara kedua belah pihak yang mengklaim kepemilikan tanah. Pemerintah Daerah memfasilitasi setiap laporan pengaduan masyarakat untuk dimusyawarahkan dengan berbagai pihak serta mediasa kedua belah pihak yang mengklaim kepemilikan tanah, sehingga dalam pengambilan keputusan tidak memihak.

1.4  DAFTAR PUSTAKA
Prof Dr. Muhammad Bakri, SH.MS: Pemanfaatan Hutan Bagi Kesejahteraan Rakyat Dan Kelestarian Lingkungan Hidup.
Sumarto, SH, M.Eng : ( Direktorat Konflik Pertanahan Badan Pertanahan Nasional RI 2012) Disampaikan pada Diklat Penanganan Konflik Pertanahan Kementerian Dalam Negeri di Hotel Jayakarta,Tanggal 19 September 2012.
Widiyanto : Koordinator Database dan Informasi HuMa
Lebakkab.go.id
Uu No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian Dan Penanganan Kasus Pertanahan
Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy
Keputusan Bupati Lebak Nomor 590/Kep.233/Huk/2002 tentang Penetapan Batas-batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes
Surat Keputusan Bupati Lebak Nomor : 593.71/Kep.18/Adm.Pem.Um/2013 Tentang Tim Penyelesaian Masalah Pertanahan Di Kabupaten Lebak 

KAJIAN ATAS PERMASALAHAN PERTANAHAN

KAJIAN ATAS PERMASALAHAN PERTANAHAN
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979

I.                    DASAR
1.       Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979
2.       Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979

II.                  KAJIAN
Penguasaan fisik dan hubungan hokum pihak yang menguasai tanah berdasarkan Kepres 32/79 dan PMDN 3/79
1.       Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat, jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara ;
2.       Tertuang dalam Pasal 2,3,4, dan 5, menjelaskan bahwa Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh rakyat, baik untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian di tinjau dari sudut tata guna usaha maupun keselamatan lingkungan hidup diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya setelah di penuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah ;
3.       Tanah bekas hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai asal konversi hak Barat pada dasarnya akan diselesaikan dengan menentukan kembali peruntukan dan penggunaannya serta memperhatikan syarat-syarat yang menurut peraturan perundangan agraria yang berlaku harus dipenuhi oleh pemohon. Dalam menentukan kembali peruntukan dan penggunaan tanah sebagai yang dimaksud diperhatikan kesesuaian fisik tanahnya dengan usaha-usaha yang akan dilakukan di atasnya dan rencana-rencana pembangunan di Daerah yang bersangkutan demi kelestarian sumber daya alam dan keselamatan lingkungan hidup. Penentuan kembali peruntukan dan penggunaan tanah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Tertuang dalam pasal 2 PMDN 3/79) ;
4.       Hak Guna Usaha baru akan diberikan kepada bekas pemegang haknya jika:
a.       dipenuhi persyaratan yang ditetapkan (point nomor 1 dan 3) ;
b.       kebun yang bersangkutan menurut penelitian Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia B), berada dalam keadaan baik dan diusahakan sendiri oleh bekas pemegang haknya;
c.        areal perkebunan tersebut tidak seluruhnya diperlukan untuk pembangunan proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum;
d.       bekas pemegang haknya bukan suatu perusahaan yang seluruh atau sebagian modalnya adalah modal asing.
5.       Tanah-tanah bekas hak guna bangunan atau hak pakai asal kotiversi hak Barat yang dimaksud dalam pasal 1 dapat diberikan dengan sesuatu hak baru kepada bekas pemegang haknya jika:
a.       dipenuhi persyaratan yang ditetapkan (point nomor 1 dan 3) ;
b.       tanah yang bersangkutan dikuasai dan digunakan sendiri oleh bekas pemegang haknya;
c.        tidak seluruhnya diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum;
d.       diatasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak yang didiami/digunakan sendiri;

e.        diatasnya berdiri suatu bangunan milik bagi pemegang hak, yang didiami/digunakan oleh fihak lain dengan persetujuan pemilik bangunan/bekas pemegang hak.